Perempuan kaum marjinal Indonesia

marginal

Perempuan-perempuan kaum marjinal

Kaum marjinal Indonesia, itulah kami. Berpendidikan rendah, berpenghasilan rendah, tinggal di rumah-rumah sempit yang lebih pantas disebut kamar dengan jumlah keluarga besar sehingga untuk tidurpun susah untuk meluruskan kaki.

Ada banyak kisah menarik yang bisa disaksikan di sekitar saya, yang kesemuanya adalah kisah sedih bukan kisah bahagia yang banyak diimpikan orang. Karena pada kenyataannya, sebagian besar masyarakat Indonesia memang masih seperti ini kehidupannya.

Ada keluarga yang mengandalkan kehidupannya pada berjualan di pasar malam, pasar yang terbentuk dadakan dari pukul lima sore sampai pukul sembilan malam dan berpindah-pindah tempat setiap malamnya. Bila hari hujan, berarti hampir bisa dipastikan tidak ada pemasukan untuk hari ini. Tapi mereka tetap semangat menggelar dagangannya setiap malam, kalau perlu dipasang tiang-tiang dari pipa paralon untuk tendanya atau papan yang disangga pot-pot plastik untuk mejanya. Ada juga keluarga yang berjualan minuman di jalan besar ibukota, di malam hari, sambil membawa anaknya yang masih kecil untuk sesekali bisa membantu orang tuanya mencari penghasilan dengan mengamen di bis kota. Belum lagi pasangan suami-istri yang mengandalkan pekerjaan sebagai tukang pijat karena mereka tuna-netra. Keluarga yang lebih beruntung adalah yang menjadi karyawan di perusahaan swasta, buruh pabrik, atau sopir pribadi. Itupun dengan penghasilan yang dicukup-cukupkan.

Tetapi, bukan orang Indonesia namanya kalau tidak bisa mengikuti perkembangan jaman. Sesusah apapun hidup mereka, tetap saja konsumtif. Ada keluarga yang hanya tinggal di kontrakan sempit tetapi punya banyak perabotan sampai-sampai rumahnya tidak muat lagi menampung perabotan yang terus menerus ditambah. Sebagian besar adalah atas jasa tukang kredit yang tak henti-hentinya berkeliling menawarkan berbagai barang dengan angsuran sangat murah dan bunga yang tinggi.

Bagi kebanyakan orang di sekitar saya, dicap sebagai orang miskin adalah aib, karenanya banyak dari mereka berusaha menutupi kondisi sebenarnya perekonomian mereka dengan membeli barang-barang yang sebenarnya bukan kebutuhan pokok, tetapi penting bagi status sosial “palsu” mereka. Barang-barang itu seperti handphone, televisi di atas 21 inch, kulkas, DVD, laptop, motor atau pakaian-pakaian yang harganya tidak sesuai dengan penghasilannya. Dan untuk itu, tanpa mereka sadari, mereka telah menumpuk hutang begitu besar. Sehingga bukan menjadi hal aneh di lingkungan sekitar saya bila melihat perceraian keluarga atau anak-anak yang tidak bisa sekolah atau terpaksa sekolah dengan sarana seadanya.

Sungguh, saya merasa bahwa masyarakat kita tengah berada pada kondisi yang sakit. Hidup tidak lagi untuk hari esok. Hidup, benar-benar adalah untuk hari ini saja. Bila terus menerus seperti ini keadaannya, saya yakin akan muncul generasi-generasi selanjutnya yang lebih tidak berpendidikan dan lebih lemah mentalnya. Kesederhanaan, kejujuran, kerja keras akan menjadi barang yang sangat langka.

Ada satu bagian paling penting yang menjadi tonggak bagi perbaikan kondisi di atas. Unsur yang paling bersentuhan langsung dengan lingkungan sosial adalah para ibu. Para ibulah yang paling banyak menghabiskan waktu di rumah, bersosialisasi dengan tetangganya, berkomunikasi dengan anak-anaknya. Sehingga yang lebih merasakan dampak sosial dari kemiskinan adalah para ibu, dan mereka pulalah yang paling merasa harus menutupi kekurangan yang mereka miliki. Hal itu sangat jeli dilihat oleh orang-orang yang berbisnis tanpa etika. Menawarkan berbagai barang dengan sistem kredit ataupun jasa pinjaman tunai dengan bunga tinggi.

Kurangnya pengetahuan, lemahnya keimanan, keputusasaan, kurangnya keterbukaan dengan suami, tekanan sosial, kurangnya kepedulian pemerintah menjadikan para ibu dari kaum marjinal tidak punya cara lain untuk bertahan hidup selain dari berhutang.

Para Ibu, dan teman-temanku sesama perempuan…
Seandainya tulisan saya ini bisa terbaca, bagaimana bila kita mulai peduli dengan para perempuan di sekitar kita. Terutama kepada mereka yang terpinggirkan dari pembangunan negara ini. Kepedulian kita pada perempuan-perempuan kaum marjinal adalah sumbangan besar bagi peradaban bangsa kita. Sebaliknya, pembiaran pada mereka berarti kehancuran bagi anak-cucu kita sendiri.