Mengapa mereka harus sekolah?

Sekolah adalah satu institusi yang “wajib” dilalui setiap manusia di fase kehidupan anak-anak hingga remaja. Kebutuhan akan sekolah menunjukkan tingkat intelektualitas dari suatu masyarakat. Masyarakat yang sadar sekolah pastinya akan menjadi masyarakat yang berpikiran lebih maju dan modern. Sayangnya, banyak sekali yang tidak memahami esensi dari sekolah itu sendiri, sehingga seringkali orang beranggapan bahwa sekolah adalah suatu proses wajar dan wajib bagi setiap anak dan remaja.

Dari wikipedia kita bisa mendapatkan terminologi dari kata “sekolah”. Di mana kata “sekolah” berasal dari Bahasa Latin: skhole, scola, scolae atau skhola yang memiliki arti: waktu luang atau waktu senggang, dimana ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak di tengah-tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa anak-anak dan remaja. Kegiatan dalam waktu luang itu adalah mempelajari cara berhitung, cara membaca huruf dan mengenal tentang moral (budi pekerti) dan estetika (seni). Untuk mendampingi dalam kegiatan scola anak-anak didampingi oleh orang ahli dan mengerti tentang psikologi anak, sehingga memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada anak untuk menciptakan sendiri dunianya melalui berbagai pelajaran di atas.

Sungguh berbeda sekali dengan arti “sekolah” pada zaman sekarang bukan? Di mana sekolah menjadi institusi yang menghabiskan seluruh waktu anak bahkan ketika mereka sudah berada di rumah, mereka masih harus menyelesaikan tugas-tugas dari sekolah.

Sungguh tidak ada maksud saya untuk mendiskreditkan institusi sekolah. Institusi itu adalah sesuatu yang sangat penting bagi kita untuk mendidik generasi kita menjadi manusia-manusia yang terdidik, terpelajar, dan jauh lebih baik dari kita. Hanya saja, ada satu poin penting yang semakin lama semakin terlupakan untuk membuat lahirnya generasi yang terdidik dan terpelajar itu. Poin itu adalah orang tua. Tuntutan kita untuk mendapatkan generasi yang lebih baik seringkali menggeser peran penting orang tua dalam mendidik anak dan memperbesar porsi sekolah untuk mencapai hal itu. Padahal, tidak ada satu institusi-pun yang bisa mengganti peran orang tua bagi anak-anak. Dan keberadaan kita bagi anak-anak bukan sekedar untuk menghidupi dan menyayanginya saja, justru, tanggung jawab terbesar kita pada anak-anak kita adalah mendidiknya.

Itu sebabnya, poin penting itu tidak boleh kita gantikan dengan apapun, apalagi bila kita berpikir kita bisa menggantikannya dengan uang. Kita berikan mereka pendidikan yang mahal, guru-guru terbaik, fasilitas termodern, semuanya untuk menggeser peran utama kita sebagai pendidik. Maka jangan salahkan kalau produk yang dihasilkan akan berbeda dari yang kita harapkan.

Jadi, kesimpulannya, apapun bentuk pendidikan yang kita pilih bagi anak-anak kita, pastikan itu tidak mengabaikan tugas kita untuk mendidik mereka “secara langsung”. Setiap orang pastinya memiliki lingkungan keluarga yang berbeda-beda, semua tergantung pada kondisi ekonomi, masyarakat sekitar, agama, budaya, dan sebagainya. Tetapi, bagaimanapun latar belakang kita, pastikan sebelum kita memilih sekolah yang mau kita tuju, kita buat pertimbangan-pertimbangan untuk menyesuaikan dengan kondisi kita dan sekali lagi, bukan dengan pertimbangan untuk menggantikan kewajiban orang tua dengan sekolah.

Untuk saya pribadi, saya menyekolahkan anak untuk beberapa alasan berikut: 1. Sekolah menjadi sarana anak untuk belajar bertanggung jawab dengan tugasnya sebagai seorang anak, 2. Sekolah menjadi sarana anak untuk belajar disiplin dengan mengikuti aturan-aturan sekolah dan keteraturan kegiatan setiap harinya, 3. Sekolah menjadi sarana anak untuk bersosialisasi dengan teman-temannya dari berbagai latar belakang lingkungan sosial yang berbeda dengan lingkungan sosial di rumahnya, 4. Sekolah menjadi sarana anak untuk belajar bahwa untuk mendapatkan “sesuatu” harus ada yang diusahakan dan dilakukan secara tekun dan sungguh-sungguh, dan 5. Sekolah menjadi sarana anak untuk menghargai institusi pendidikan dan sumber-sumber ilmu seperti guru dan buku. Itu lima poin yang saya rasa paling penting untuk menjadi alasan saya menyekolahkan anak-anak saya, itu sebabnya, saya menyekolahkan mereka di sekolah yang sederhana sekali, yaitu sekolah negeri dan jaraknya pun bisa terjangkau dengan berjalan kaki dari rumah. Bagi saya, sekolah negeri sudah cukup memenuhi semua kriteria yang saya harapkan dari sekolah. Pastinya anda memiliki alasan berbeda untuk menentukan sekolah terbaik bagi anak-anak anda, hanya satu yang perlu diingat, seperti pernah dikatakan seorang bijak di negeri ini “uang bisa membayar sekolah, tetapi tidak bisa membeli pendidikan”.

Semoga tulisan ini bisa memberi anda sudut pandang lain tentang sekolah dan bagaimana memilih sekolah yang paling tepat untuk buah hati kita, dan semoga tulisan ini bisa memberi kontribusi bagi terlahirnya generasi-generasi mendatang yang terpelajar, terdidik, dan jauh lebih baik dari generasi sebelumnya.

301190_188916094576492_1936423369_n

Wanita bekerja – dari persepsi yang berbeda

Selama ini saya cenderung menyarankan wanita untuk tidak bekerja, meskipun saya sendiri adalah seorang wanita pekerja. Karena yang saya amati dari para wanita pekerja seringkali melakukan banyak kesalahan fatal, di antaranya meninggalkan anak yang merupakan fokus utamanya, lebih mengutamakan karirnya sendiri dari pada karir suami padahal suami adalah kepala keluarganya, merasa memiliki peran yang sama dengan pemimpin keluarga sehingga tidak bisa atau sulit untuk diatur oleh pemimpin keluarga, padahal dalam berbagai institusi sekecil apapun itu, harus ada seorang pemimpin untuk memastikan institusi itu bisa berjalan dengan baik.

Itu pandangan awal saya, meskipun, sekali lagi saya katakan, saya sendiri adalah seorang wanita pekerja, tetapi saya bekerja masih dalam lingkup domain rumah, yang merupakan markas besar, kantor pusat, ataupun daerah kekuasaan dari setiap ibu rumah tangga. Saya tidak pernah beranjak jauh dari rumah dalam melakukan semua aktivitas kerja yang menghasilkan uang. Sehingga saya membedakan kasus saya dengan para wanita pekerja. Padahal tetap saja, status saya adalah sama, wanita pekerja, menghasilkan uang juga untuk keluarga, dan bisa jadi rentan terhadap sindrom yang saya sebutkan di paragraf sebelumnya.

Itu yang menyebabkan saya banyak berpikir dan mengkaji, apa yang kurang dari pendapat saya sebelumnya. Terus terang, saya merasa enjoy ketika bisa menghasilkan uang, meskipun suami saya, sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab, tidak pernah mengharapkan saya untuk menghasilkan uang juga, bahkan beliau lebih suka bila saya tidak ikut memikirkan hal itu. Itu sering menjadi bahan diskusi kami, dan saya, masih belum bisa juga menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan suami, misalnya seperti, “Kamu tuh kerja untuk apa? Aku sudah cukup memberikan nafkah bagi keluarga”, atau “Aku keberatan jika terus menerus menerima “sedekah” dari kamu”, dan pernyataan-pernyataan lain yang sebelum saya menemukan jawabannya, saya masih akan tetap diam, karena saya yakin sekali bahwa yang saya lakukan ini adalah hal yang benar, tetapi saya belum menemukan jawabannya, jadi kalau saya tetap bicara tanpa jawaban yang benar, justru akan menimbulkan konflik bukan? Atau bahkan malah jadi debat kusir yang tidak penting sama sekali.

Sampai kemudian saya berpindah sudut pandang. Saya melihat bagaimana ummahatul mu’minin bisa mencari penghasilan sendiri juga, tapi tetap menjadikan suami sebagai nahkoda dalam rumah tangga. Itu karena, mereka memiliki penghasilan bukan untuk membantu suami memenuhi kebutuhan rumah tangga, mereka memiliki penghasilan untuk menunjang dakwah suaminya. Menjadikan orang sekelas rasulullah bisa berfokus pada urusan yang jauh lebih besar, menjadikannya sosok yang tidak lemah pada dunia. Aktivitas dakwah ataupun aktivitas kebaikan lain bisa dipastikan akan berhasil jika dilakukan dengan ikhlas. Tidak bisa kita mengharapkan materi dari sesuatu yang kita sebut “ikhlas”. Tetapi tidak menutup kemungkinan rejeki Allah itu berasal dari berbagai tempat yang tidak terduga. Hanya saja, aktivitas dakwah tergolong pada aktivitas non-profit, jadi bukan tempat untuk mengumpulkan harta, tetapi, tempat untuk berbagi kebaikan pada sebanyak-banyak manusia. Semakin luas ladang dakwah, semakin banyak manfaat kita, dan semakin besar dibutuhkan keikhlasan untuk melakukannya. Di titik inilah saya menemukan jawaban saya, bahwa wanita bekerja, adalah bagian dari niatnya mendukung kerja suami. Wanita bekerja adalah bagian di balik layar yang membesarkan panggung suami. Wanita bekerja adalah the “king maker”. Bekerjanya kita adalah bagian dari kemandirian kita sebagai seorang manusia, bekerjanya kita adalah bukti tekad baja kita sebagai wanita, yang tidak ingin menjadi orang cengeng yang selalu saja menuntut para suami untuk hanya memikirkan urusannya saja, atau bahkan sampai harus memaksa suami mencari lebih dari sekedar yang halal. Wanita bekerja adalah partner bukan pesaing dalam mencari nafkah, karena wanita bekerja, setinggi apapun penghasilannya, tetap menempatkan penghasilan suami sebagai penghasilan pokoknya, dan mensyukurinya, sebagai rejeki nomor satu dari Yang Maha Kuasa untuk keluarganya.

Semoga tulisan saya bisa mendorong para wanita untuk bisa mandiri, untuk bisa membantu suaminya menjadi lebih dari sekedar pasangan hidupnya. Kita tidak hanya perempuan yang dinantikan perannya dalam melahirkan generasi terbaik, tetapi kita juga perempuan yang dinantikan perannya dalam membesarkan institusi keluarga kita menjadi rumah bagi orang banyak.
1176202_640179486002123_343221428_n