Wanita bekerja – dari persepsi yang berbeda

Selama ini saya cenderung menyarankan wanita untuk tidak bekerja, meskipun saya sendiri adalah seorang wanita pekerja. Karena yang saya amati dari para wanita pekerja seringkali melakukan banyak kesalahan fatal, di antaranya meninggalkan anak yang merupakan fokus utamanya, lebih mengutamakan karirnya sendiri dari pada karir suami padahal suami adalah kepala keluarganya, merasa memiliki peran yang sama dengan pemimpin keluarga sehingga tidak bisa atau sulit untuk diatur oleh pemimpin keluarga, padahal dalam berbagai institusi sekecil apapun itu, harus ada seorang pemimpin untuk memastikan institusi itu bisa berjalan dengan baik.

Itu pandangan awal saya, meskipun, sekali lagi saya katakan, saya sendiri adalah seorang wanita pekerja, tetapi saya bekerja masih dalam lingkup domain rumah, yang merupakan markas besar, kantor pusat, ataupun daerah kekuasaan dari setiap ibu rumah tangga. Saya tidak pernah beranjak jauh dari rumah dalam melakukan semua aktivitas kerja yang menghasilkan uang. Sehingga saya membedakan kasus saya dengan para wanita pekerja. Padahal tetap saja, status saya adalah sama, wanita pekerja, menghasilkan uang juga untuk keluarga, dan bisa jadi rentan terhadap sindrom yang saya sebutkan di paragraf sebelumnya.

Itu yang menyebabkan saya banyak berpikir dan mengkaji, apa yang kurang dari pendapat saya sebelumnya. Terus terang, saya merasa enjoy ketika bisa menghasilkan uang, meskipun suami saya, sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab, tidak pernah mengharapkan saya untuk menghasilkan uang juga, bahkan beliau lebih suka bila saya tidak ikut memikirkan hal itu. Itu sering menjadi bahan diskusi kami, dan saya, masih belum bisa juga menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan suami, misalnya seperti, “Kamu tuh kerja untuk apa? Aku sudah cukup memberikan nafkah bagi keluarga”, atau “Aku keberatan jika terus menerus menerima “sedekah” dari kamu”, dan pernyataan-pernyataan lain yang sebelum saya menemukan jawabannya, saya masih akan tetap diam, karena saya yakin sekali bahwa yang saya lakukan ini adalah hal yang benar, tetapi saya belum menemukan jawabannya, jadi kalau saya tetap bicara tanpa jawaban yang benar, justru akan menimbulkan konflik bukan? Atau bahkan malah jadi debat kusir yang tidak penting sama sekali.

Sampai kemudian saya berpindah sudut pandang. Saya melihat bagaimana ummahatul mu’minin bisa mencari penghasilan sendiri juga, tapi tetap menjadikan suami sebagai nahkoda dalam rumah tangga. Itu karena, mereka memiliki penghasilan bukan untuk membantu suami memenuhi kebutuhan rumah tangga, mereka memiliki penghasilan untuk menunjang dakwah suaminya. Menjadikan orang sekelas rasulullah bisa berfokus pada urusan yang jauh lebih besar, menjadikannya sosok yang tidak lemah pada dunia. Aktivitas dakwah ataupun aktivitas kebaikan lain bisa dipastikan akan berhasil jika dilakukan dengan ikhlas. Tidak bisa kita mengharapkan materi dari sesuatu yang kita sebut “ikhlas”. Tetapi tidak menutup kemungkinan rejeki Allah itu berasal dari berbagai tempat yang tidak terduga. Hanya saja, aktivitas dakwah tergolong pada aktivitas non-profit, jadi bukan tempat untuk mengumpulkan harta, tetapi, tempat untuk berbagi kebaikan pada sebanyak-banyak manusia. Semakin luas ladang dakwah, semakin banyak manfaat kita, dan semakin besar dibutuhkan keikhlasan untuk melakukannya. Di titik inilah saya menemukan jawaban saya, bahwa wanita bekerja, adalah bagian dari niatnya mendukung kerja suami. Wanita bekerja adalah bagian di balik layar yang membesarkan panggung suami. Wanita bekerja adalah the “king maker”. Bekerjanya kita adalah bagian dari kemandirian kita sebagai seorang manusia, bekerjanya kita adalah bukti tekad baja kita sebagai wanita, yang tidak ingin menjadi orang cengeng yang selalu saja menuntut para suami untuk hanya memikirkan urusannya saja, atau bahkan sampai harus memaksa suami mencari lebih dari sekedar yang halal. Wanita bekerja adalah partner bukan pesaing dalam mencari nafkah, karena wanita bekerja, setinggi apapun penghasilannya, tetap menempatkan penghasilan suami sebagai penghasilan pokoknya, dan mensyukurinya, sebagai rejeki nomor satu dari Yang Maha Kuasa untuk keluarganya.

Semoga tulisan saya bisa mendorong para wanita untuk bisa mandiri, untuk bisa membantu suaminya menjadi lebih dari sekedar pasangan hidupnya. Kita tidak hanya perempuan yang dinantikan perannya dalam melahirkan generasi terbaik, tetapi kita juga perempuan yang dinantikan perannya dalam membesarkan institusi keluarga kita menjadi rumah bagi orang banyak.
1176202_640179486002123_343221428_n

2 thoughts on “Wanita bekerja – dari persepsi yang berbeda

Leave a comment