Kegelisahan saya

Apa yang kita berikan pada generasi kita sekarang? Selain kemalasan dan konsumerisme. Sedih saya melihat anak-anak kita hanya bersekolah sebisanya, kemudian bekerja sebisanya untuk bisa beli barang-barang mahal yang tidak terlalu diperlukan. Sedih saya melihat mereka bekerja dengan tanpa semangat, terutama yang wanita, tanpa harapan akan perubahan kecuali menikah. Yang jadi pramuniaga, melayani pembeli dengan tanpa senyum. Yang menjadi OB duduk di pojok toilet sambil nongkrong atau main hape. Yang jadi pramusaji restoran fastfood melayani pembeli dengan wajah kelelahan. Kadang tidak sabaran menunggu orderan pembeli. Apa yang kita hasilkan pada pendidikan yang berorientasi kerja? Apa yang kita hasilkan ketika setiap kali anak berangkat ke sekolah yang kita ingatkan adalah belajar yang rajin, biar gede bisa kerja kantoran.

Ingin sekali melihat semangat anak muda yang meskipun pekerjaannya masih sangat biasa saja, tapi semangat sekali melakukannya, menyadari bahwa ini bukan pekerjaan seumur hidup, saya harus belajar sesuatu dari sini, saya harus menjadi sesuatu setelah ini, tidak masalah siapa saya sekarang, yang penting adalah bagaimana saya nanti. Mungkin masih ada generasi seperti itu, banyak bisa jadi, tetapi mereka masih sangat kurang banyak dibanding selebihnya. Selebihnya yang biasa terlihat ada di mana-mana.

Saya tidak bisa berharap pada siapa-siapa kecuali pada diri saya sendiri. Bagaimana memperbaiki yang sudah terjadi. Adalah memulai dari sekarang, untuk masa yang akan datang. Dan saya hanya bisa berbuat dari diri saya sendiri, mengajak orang yang paling bisa saya ajak. Mengingatkan orang yang paling bisa mendengar saya. Menuangkan ide pada orang yang paling membutuhkan ide saya. Bersyukur saya diberi jalan lewat Sekolah Ibu. Memulai perbaikan generasi, dari sumber generasi itu sendiri, yaitu para ibu. Memastikan setiap rumah tidak kekurangan pendidikan hanya karena keterbatasan ekonomi. Hanya langkah kecil yang bisa saya buat, tapi berharap bisa dilanjutkan oleh langkah yang lain sehingga kita bisa memindahkan gunung masalah yang besar itu.

logo3

Train your little dragon

Judulnya melatih naga kecil. Siapa naganya? Anak-anak kita jawabnya. Mereka itu seperti naga-naga kecil yang sudah berpotensi menyemburkan apinya, berpotensi terbang tak tentu arah, dan kita, tidak bisa membiarkan mereka membakar apapun yang ada di hadapan mereka, ataupun terbang entah kemana tanpa tahu kapan kembali. Dan di luar sana, ada begitu banyak pihak yang menginginkan potensi mereka untuk “dimanfaatkan” oleh mereka yang tidak berhak. Melatih si “naga” kecil itu butuh kesabaran dan trik jitu. Anak-anak dengan segala potensinya, tidak boleh menjadikan mereka kehilangan semua itu, tetapi juga tidak membiarkan mereka tidak paham apa yang harus mereka lakukan untuk bisa diterima dengan lingkungannya. Anak-anak perlu belajar etika yang bersumber dari empati, sopan santun yang bersumber dari kasih sayang, dan mendengarkan yang bersumber dari rasa hormat.

Etika adalah perilaku kita terhadap sesama yang menjaga norma-norma yang ada di masyarakat, tidak dengan paksaan, tetapi harus mulai ditimbulkan dari rasa empati, seperti bagaimana jika mereka mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan, bagaimana jika mereka diperlakukan tidak adil. Sehingga kemudian anak-anak akan dengan secara sadar berusaha menjaga norma di masyarakat itu sebagai rasa empatinya pada sesama manusia.

Sopan santun adalah perilaku kita pada sesama manusia yang menempatkan orang lain pada posisi yang tepat. Sikap itu tidak bisa timbul dengan paksaan, harus muncul dari adanya rasa kasih sayang dalam diri si anak. Bagaimana kasih sayang yang ada di jiwanya itu kemudian menempatkan orang lain sebagai individu yang harus dijaga haknya dengan menampilkan sikap sopan santun pada mereka.

Mendengarkan adalah perilaku yang sulit dilakukan oleh anak-anak, karena sebagian besar metode belajar mereka harus dilakukan dengan mendengarkan, terutama mendengarkan ucapan mereka yang lebih tua seperti guru, orang tua, kakek, nenek, dan sebagainya. Dan mendengarkan baru bisa mereka lakukan ketika ada rasa hormat di hati mereka pada orang yang mereka dengar. Dan itu muncul ketika orang yang ingin mereka dengar bisa menunjukkan kepribadian yang patut untuk dihormati. Karenanya menjadi orang yang terhormat menjadikan anak-anak paham bahwa menjadi terhormat itu sulit sekali, dan mereka harus menghargai mereka yang ada di posisi itu. Terhormat bukanlah kata yang dibatasi oleh jabatan, terhormat adalah sikap yang menempatkan seseorang di posisi yang tinggi karena ilmunya, ilmu yang terwujud dalam sikap, bukan ilmu yang hanya tersimpan dalam kepala. Itu artinya, menjadi terhormat adalah menjadikan apa yang sudah dipelajari dalam hidup menjadi amalan sehari-hari. Dan anak-anak harus paham itu semua.

Jadi, anak yang beretika, sopan, menghormati orang tua bukanlah hasil latihan dengan rotan, cambuk atau mata melotot, tetapi hasil pemahaman mereka akan hakikat dari sumber semua sikap tersebut. Maka, si naga kecil itu tahu bahwa api yang keluar dari mulutnya akan bermanfaat untuk membantu menghangatkan, dan mereka tahu bahwa kalau mereka terbang jauh, ada orang di rumah yang menunggu mereka penuh harap untuk segera pulang.

can-t-find-the-perfect-clip-art-yt2TPp-clipart

Mengenal Siapa Anak Kita?

Anak yang ada di hadapan kita, adalah anugrah terbesar dari Allah SWT. Mereka diberikan kepada kita sebagai material dasar yang belum bisa apa-apa. Tetapi kita tidak berhak membentuknya menjadi apapun sesuai kemauan kita tanpa melihat seperti apa material dasarnya. Itu karena, produk akhir tidak hanya tergantung pada proses pembentukannya, tetapi lebih pada material dasar yang dipakai. Jadi, langkah pertama untuk pembentukan anak adalah mengenalinya terlebih dahulu. Apakah dia seperti besi yang harus ditempa, apakah dia seperti pualam yang harus dipahat, apakah dia seperti pasir yang harus dicetak, apakah dia seperti kaca yang harus dibakar, apakah dia seperti tanah liat yang harus dibentuk? Semua perlakuan kita pada anak akan berbeda-beda tergantung sifat bawaan dari anak itu, dan sifat bawaan itu tidak pernah jauh dari sifat bawaan ibu dan bapaknya, karena ayam akan melahirkan anak ayam, kucing akan melahirkan anak kucing. Hal yang perlu dilakukan secara sama oleh setiap ibu dan sedang kita pelajari di Sekolah Ibu adalah kapan waktu yang tepat untuk melakukan proses pembentukan itu dan bagaimana kita bisa mengenali materi dasar yang ada pada diri anak kita sehingga, setiap ibu bisa secara bijaksana mengambil langkah-langkah pengasuhannya. Ibu yang mempunyai visi dan misi yang jelas bagi anak-anaknya akan bisa dipastikan menghantarkan anak-anaknya pada gerbang keberhasilan. Dan keberhasilan itu, tidak hanya untuk si ibu dan si anak, tetapi untuk keberhasilan global yaitu umat. Ada misi yang jelas dari setiap pengasuhan anak, yaitu menegakkan Dinullah di muka bumi, karena hanya dengan itu bumi menjadi lestari. Dan misi inilah yang paling ditakuti oleh musuh Islam. Mereka tidak suka bila generasi Islam maju, dan karenanya kunci kemenangan Islam sejatinya ada pada ibu-ibu pemilik generasi Islam itu. Itulah kita…

Awalia Hafsyah – Sekolah Ibu

FB: Awalia Hafsyah

Blog: awaliahafsyah.wordpress.com

Anak Kita dan “Idaman Hatinya”

Beberapa waktu ini saya sering mendapati postingan tentang anak-anak sd yang sudah bisa membuat surat cinta dan yang sudah berani berselfie mesra dengan pacarnya. Miris? Semestinya iya. Tetapi tidak juga menutup mata kita bahwa memang di usia itu mereka sudah mulai mengalami perkembangan terkait dengan hormon dan fisik, sehingga sebetulnya “wajar” bila anak sd sudah bisa melakukan semua hal yang tersebut. Saya bisa bicara seperti ini karena itu saya alami sendiri pada anak saya yang sekarang duduk di kelas 4 sd. Si Kakak, begitu kami memanggilnya, sudah mulai bertanya-tanya tentang menstruasi, pacaran, dan hal-hal yang berhubungan dengan seksualitas. Saya tidak melihatnya sebagai hasil negatif dari pergaulan atau tontonan televisi, saya justru lebih melihatnya sebagai bagian dari perkembangannya sebagai seorang manusia normal. Jadi, saya tidak serta merta jengah untuk membahasnya. Saya dan si kakak malah senang membahasnya, membicarakannya selayaknya hal-hal penting dalam kehidupan. Saya bahkan bisa tahu siapa teman sekelasnya yang sekarang sedang kakak “sukai”, bagaimana tipe laki-laki kesukaannya (amazing kan anak umur 9 tahun sudah bisa mendeskripsikan tipe pria). Itu bukan hal yang tabu, itu justru menjadi feedback buat saya tentang bagaimana cara berfikir anak kita, dan apa sebetulnya yang dia butuhkan. Karena sesungguhnya apa yang “disukai” anak kita itu berarti hal-hal yang sejatinya ia butuhkan, seperti misalnya kasih sayang, perhatian, dan sebagainya. Dan yang terpenting dari semua itu, kita bisa jauh lebih mudah menunjukkan cara berpikir yang benar tentang seksualitas pada anak dibandingkan dengan menilai negatif bila anak kita mulai berbicara hal-hal tersebut. Anak, sesungguhnya mengidolakan orangtuanya sebelum siapapun, tetapi sayangnya, mereka akan beralih idola ketika idola pertama mereka itu tidak lagi mau diidolakan. (Ditulis dengan penuh cinta untuk kakak, someday kalau sudah boleh buka facebook)

993932_606717062682825_323329181_n

sudah merdekakah kita?

Suatu ketika saya berjalan-jalan di daerah karawang dan melewati salah satu pabrik garmen yang ada di kota itu. Di saat itu sedang waktunya istirahat makan siang, yang hadir di hadapan mata saya adalah ratusan wanita muda berhamburan keluar dari pabrik. Wajah-wajahnya polos, usianya mungkin berkisar 17 sampai 20 tahun. Mereka langsung menyerbu penjaja makanan, sandal, baju, dan barang-barang kelontong lain. untuk mengganjal perut mereka memilih jajanan seperti mi ayam dan bakso yang jauh dari kata bergizi. Bila ada sisa uang mereka mudah tergoda dengan jajaran sandal cantik dan baju-baju yang ditawarkan pedagang kaki lima. Sungguh suatu gambaran menyedihkan bagi saya. Anak-anak bangsa yang jumlahnya bisa ribuan dalam satu pabrik, tidak mendapat kesempatan menimba ilmu, tetapi justru harus memeras keringat. Bila melihat semua itu, dan bagaimana kita membiarkan keadaan ini terjadi dengan alasan kita membutuhkan tenaga mereka yang murah, lantas apa bedanya kita dengan penjajah belanda dan jepang dulu? Para penjajah itu dulu sengaja membuat para pribumi tidak mendapat akses pendidikan hingga kita selalu berada dalam kebodohan dan tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengandalkan tenaga kita untuk menjadi buruh bagi pabrik-pabrik mereka yang terus menggelontorkan kekayaan bagi negaranya. Hingga tidak ada yang tersisa dari kita, kecuali jiwa-jiwa lemah yang hanya bisa mengharapkan pekerjaan dari si tuan. Saya, tidak bisa berkata apa-apa melihat semua itu, saya terlalu terhenyak, apakah tidak ada yang bisa kita lakukan bagi saudara-saudara sebangsa kita untuk bisa merdeka dan sekedar hidup layak menikmati kemerdekaan ini. Adakah yang bisa kita lakukan?

196619_488302877856452_1805650384_n

Sudahkah anda sukses?

Dalam setiap lini kehidupan, setiap orang selalu berharap untuk bisa sukses, bisa menjadi yang terdepan, bisa menjadi yang memimpin, atau setidaknya bisa menjadi bagian yang penting. Itu sebabnya, status, jabatan, kedudukan selalu menjadi hal yang penting untuk dimiliki. Bahkan, ketika kita tidak memilikinya pun, kita akan berusaha untuk bisa dianggap memilikinya, dianggap punya peran besar, dianggap sibuk, dianggap hebat, dan sebagainya. Orang sangat tidak suka disepelekan, orang sangat tidak suka menjadi bagian yang diabaikan, terlupakan, atau tidak penting.

Dan anehnya, semua hal itu yang menilai bukan diri kita sendiri. Semua anggapan, pengakuan dan penerimaan tersebut datangnya dari orang lain. Orang yang bisa jadi sangat tidak paham tentang kita, orang yang bisa jadi tidak menyukai keberadaan kita, dan orang yang bukan siapa-siapa dari kita. Padahal, bagi seorang manusia, apa yang ia lihat, bisa jadi bukan suatu fakta, tetapi persepsi, dan apa yang ia dengar, bisa jadi bukan suatu kebenaran, tetapi opini. Jadi…sangat sulit sekali keberadaan kita ketika harus menggantungkan harapan kita untuk menjadi orang hebat pada orang lain. Hingga akhirnya semakin banyak gagdet yang kita miliki, semakin tidak karuan perasaan kita dibuatnya seharian, semakin banyak kita berkomunikasi, semakin sepi rasanya dunia.

Ada kalimat Allah yang sangat patut anda simak, Allah tidak melihat seseorang itu dari jenis kelaminnya, dari kekayaannya, dari jabatannya, dari keindahan wajahnya, tetapi Allah melihat seseorang itu berdasarkan takwanya. Cara Allah melihat seseorang itu ia ajarkan kepada kita bukan tanpa sebab. Cara itu menjadikan kita manusia yang bisa hidup bebas dari kebutuhan-kebutuhan semu yang hanya membutakan mata dan menghabiskan kemanfaatan usia kita. Cara satu-satunya untuk bisa sukses adalah dengan bertakwa. Menempatkan yang benar pada tempatnya. Berbuat baik tidak untuk dipandang orang, tetapi untuk mendapatkan posisi yang baik di mata Allah. Hingga akhirnya, kita akan mendapatkan satu hal yang selalu dicari-cari orang yang ingin sukses, yaitu kebahagiaan.

kita tidak menjadi takut disepelekan orang, kita tidak menjadi takut diabaikan, karena kita mengharapkan penghargaan dari pemilik kehidupan, bukan dari yang sama-sama menumpang dalam kehidupan ini. Sudahkah anda merasa sukses?

395848_348218061864935_969833062_n

Manusia adalah makhluk yang senang bermain

Saya berharap anak-anak saya bisa menemukan peran besarnya dalam kehidupan melalui bermain. Dengan bermain mereka mendapatkan kebebasan untuk menjadi apapun yg mereka inginkan. Hingga akhirnya mereka menemukan sendiri passionnya dan bisa hidup dgn passion tersebut. Hidup dgn passion kita adalah hal yg tidak selalu bisa didapatkan oleh setiap orang. Itu seperti mendapatkan kehidupan yg berharga dan bermakna. Itu sebabnya saya berharap mereka mendapatkan kehidupan seperti itu. Tidak untuk mengejar sukses, tapi menjadikan sukses mendekat tanpa bisa ditolak.

Saya percaya bahwa Allah menciptakan segala sesuatu tidak ada yg sia2, termasuk manusia. Dari sekian banyak manusia, setiap pribadinya adalah bermakna dan mempunyai peran yg sudah Allah tentukan. Peran itu tersimpan dalam bentuk passion, sehingga ketika kita menjalankannya kita akan mampu memenuhi peran kita secara maksimal.

527459_193221067479328_1437086188_n

Berkomunikasi dalam dongeng

Ada kebiasaan yang kami lakukan (saya, dan kedua anak saya) ketika menjelang tidur. Kalau belum terlalu mengantuk, kami suka saling bertukar dongeng, dimulai dari saya yang mendongeng kemudian si sulung, dan terakhir si bungsu. Ceritanya bebas, dan boleh disadur dari cerita yang sudah umum atau cerita karangan sendiri.

Senang sekali kalau berkesempatan mendongeng bersama seperti itu, bayangkan saja, kita bisa memasukkan banyak pesan penting sambil didengarkan dengan serius oleh anak-anak, kemudian kita bisa mengetahui isi hati anak-anak kita, kekayaan kosa-katanya, dan kecerdasan olah pikirnya melalui dongeng yang mereka sampaikan pada kita. Maka, itu menjadi momen yang benar-benar penting bagi saya.

Kebetulan sekali saya baru saja membaca satu buku yang berjudul “mencetak anak brilian dengan metode biowriting” tulisan dari Femi Olivia, dari sana, saya semakin dikuatkan akan pentingnya acara mendongeng bersama yang sudah saya lakukan bersama anak-anak. Ternyata, kemampuan anak mendongeng atau bercerita bisa mengasah kepandaian anak terutama kecerdasan linguistiknya, bereksperimen dengan kekuatan kata-kata, dan mengajarkan anak menerima perasaan mereka dan belajar mengatasinya. Dalam acara mendongeng bersama itu juga kita mengajarkan anak menghargai pendapat orang.

Begitu besarnya manfaat mendongeng bersama, menjadikan saya ingin selalu melewatkan setiap malam dengan saling menuturkan dongeng. Hanya saja, untuk menghindari kebosanan, tidak setiap malam kami melakukan hal itu. Dan jangan memaksa anak untuk harus mendongeng kalau mereka merasa tidak punya ide untuk diceritakan. Biasanya, ketika kita yang memulai bercerita, anak-anak akan segera menemukan ide untuk diceritakan. Karena pada dasarnya, setiap manusia itu senang menyampaikan isi hatinya, dan senang didengarkan pendapatnya. Dan melalui mendongeng, sifat dasar itu kita kembangkan menjadi skill yang sangat bermanfaat bagi pembentukan kepribadian mereka kelak, bahkan bisa menjadi jalan bagi kesuksesan mereka ketika dewasa.

Jadi, selamat mendongeng, dan selamat mendengarkan kisah-kisah lucu dan lugu dari buah hati kita.

375079_487877494618189_1857304746_n

Mengapa mereka harus sekolah?

Sekolah adalah satu institusi yang “wajib” dilalui setiap manusia di fase kehidupan anak-anak hingga remaja. Kebutuhan akan sekolah menunjukkan tingkat intelektualitas dari suatu masyarakat. Masyarakat yang sadar sekolah pastinya akan menjadi masyarakat yang berpikiran lebih maju dan modern. Sayangnya, banyak sekali yang tidak memahami esensi dari sekolah itu sendiri, sehingga seringkali orang beranggapan bahwa sekolah adalah suatu proses wajar dan wajib bagi setiap anak dan remaja.

Dari wikipedia kita bisa mendapatkan terminologi dari kata “sekolah”. Di mana kata “sekolah” berasal dari Bahasa Latin: skhole, scola, scolae atau skhola yang memiliki arti: waktu luang atau waktu senggang, dimana ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak di tengah-tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa anak-anak dan remaja. Kegiatan dalam waktu luang itu adalah mempelajari cara berhitung, cara membaca huruf dan mengenal tentang moral (budi pekerti) dan estetika (seni). Untuk mendampingi dalam kegiatan scola anak-anak didampingi oleh orang ahli dan mengerti tentang psikologi anak, sehingga memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada anak untuk menciptakan sendiri dunianya melalui berbagai pelajaran di atas.

Sungguh berbeda sekali dengan arti “sekolah” pada zaman sekarang bukan? Di mana sekolah menjadi institusi yang menghabiskan seluruh waktu anak bahkan ketika mereka sudah berada di rumah, mereka masih harus menyelesaikan tugas-tugas dari sekolah.

Sungguh tidak ada maksud saya untuk mendiskreditkan institusi sekolah. Institusi itu adalah sesuatu yang sangat penting bagi kita untuk mendidik generasi kita menjadi manusia-manusia yang terdidik, terpelajar, dan jauh lebih baik dari kita. Hanya saja, ada satu poin penting yang semakin lama semakin terlupakan untuk membuat lahirnya generasi yang terdidik dan terpelajar itu. Poin itu adalah orang tua. Tuntutan kita untuk mendapatkan generasi yang lebih baik seringkali menggeser peran penting orang tua dalam mendidik anak dan memperbesar porsi sekolah untuk mencapai hal itu. Padahal, tidak ada satu institusi-pun yang bisa mengganti peran orang tua bagi anak-anak. Dan keberadaan kita bagi anak-anak bukan sekedar untuk menghidupi dan menyayanginya saja, justru, tanggung jawab terbesar kita pada anak-anak kita adalah mendidiknya.

Itu sebabnya, poin penting itu tidak boleh kita gantikan dengan apapun, apalagi bila kita berpikir kita bisa menggantikannya dengan uang. Kita berikan mereka pendidikan yang mahal, guru-guru terbaik, fasilitas termodern, semuanya untuk menggeser peran utama kita sebagai pendidik. Maka jangan salahkan kalau produk yang dihasilkan akan berbeda dari yang kita harapkan.

Jadi, kesimpulannya, apapun bentuk pendidikan yang kita pilih bagi anak-anak kita, pastikan itu tidak mengabaikan tugas kita untuk mendidik mereka “secara langsung”. Setiap orang pastinya memiliki lingkungan keluarga yang berbeda-beda, semua tergantung pada kondisi ekonomi, masyarakat sekitar, agama, budaya, dan sebagainya. Tetapi, bagaimanapun latar belakang kita, pastikan sebelum kita memilih sekolah yang mau kita tuju, kita buat pertimbangan-pertimbangan untuk menyesuaikan dengan kondisi kita dan sekali lagi, bukan dengan pertimbangan untuk menggantikan kewajiban orang tua dengan sekolah.

Untuk saya pribadi, saya menyekolahkan anak untuk beberapa alasan berikut: 1. Sekolah menjadi sarana anak untuk belajar bertanggung jawab dengan tugasnya sebagai seorang anak, 2. Sekolah menjadi sarana anak untuk belajar disiplin dengan mengikuti aturan-aturan sekolah dan keteraturan kegiatan setiap harinya, 3. Sekolah menjadi sarana anak untuk bersosialisasi dengan teman-temannya dari berbagai latar belakang lingkungan sosial yang berbeda dengan lingkungan sosial di rumahnya, 4. Sekolah menjadi sarana anak untuk belajar bahwa untuk mendapatkan “sesuatu” harus ada yang diusahakan dan dilakukan secara tekun dan sungguh-sungguh, dan 5. Sekolah menjadi sarana anak untuk menghargai institusi pendidikan dan sumber-sumber ilmu seperti guru dan buku. Itu lima poin yang saya rasa paling penting untuk menjadi alasan saya menyekolahkan anak-anak saya, itu sebabnya, saya menyekolahkan mereka di sekolah yang sederhana sekali, yaitu sekolah negeri dan jaraknya pun bisa terjangkau dengan berjalan kaki dari rumah. Bagi saya, sekolah negeri sudah cukup memenuhi semua kriteria yang saya harapkan dari sekolah. Pastinya anda memiliki alasan berbeda untuk menentukan sekolah terbaik bagi anak-anak anda, hanya satu yang perlu diingat, seperti pernah dikatakan seorang bijak di negeri ini “uang bisa membayar sekolah, tetapi tidak bisa membeli pendidikan”.

Semoga tulisan ini bisa memberi anda sudut pandang lain tentang sekolah dan bagaimana memilih sekolah yang paling tepat untuk buah hati kita, dan semoga tulisan ini bisa memberi kontribusi bagi terlahirnya generasi-generasi mendatang yang terpelajar, terdidik, dan jauh lebih baik dari generasi sebelumnya.

301190_188916094576492_1936423369_n

Wanita bekerja – dari persepsi yang berbeda

Selama ini saya cenderung menyarankan wanita untuk tidak bekerja, meskipun saya sendiri adalah seorang wanita pekerja. Karena yang saya amati dari para wanita pekerja seringkali melakukan banyak kesalahan fatal, di antaranya meninggalkan anak yang merupakan fokus utamanya, lebih mengutamakan karirnya sendiri dari pada karir suami padahal suami adalah kepala keluarganya, merasa memiliki peran yang sama dengan pemimpin keluarga sehingga tidak bisa atau sulit untuk diatur oleh pemimpin keluarga, padahal dalam berbagai institusi sekecil apapun itu, harus ada seorang pemimpin untuk memastikan institusi itu bisa berjalan dengan baik.

Itu pandangan awal saya, meskipun, sekali lagi saya katakan, saya sendiri adalah seorang wanita pekerja, tetapi saya bekerja masih dalam lingkup domain rumah, yang merupakan markas besar, kantor pusat, ataupun daerah kekuasaan dari setiap ibu rumah tangga. Saya tidak pernah beranjak jauh dari rumah dalam melakukan semua aktivitas kerja yang menghasilkan uang. Sehingga saya membedakan kasus saya dengan para wanita pekerja. Padahal tetap saja, status saya adalah sama, wanita pekerja, menghasilkan uang juga untuk keluarga, dan bisa jadi rentan terhadap sindrom yang saya sebutkan di paragraf sebelumnya.

Itu yang menyebabkan saya banyak berpikir dan mengkaji, apa yang kurang dari pendapat saya sebelumnya. Terus terang, saya merasa enjoy ketika bisa menghasilkan uang, meskipun suami saya, sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab, tidak pernah mengharapkan saya untuk menghasilkan uang juga, bahkan beliau lebih suka bila saya tidak ikut memikirkan hal itu. Itu sering menjadi bahan diskusi kami, dan saya, masih belum bisa juga menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan suami, misalnya seperti, “Kamu tuh kerja untuk apa? Aku sudah cukup memberikan nafkah bagi keluarga”, atau “Aku keberatan jika terus menerus menerima “sedekah” dari kamu”, dan pernyataan-pernyataan lain yang sebelum saya menemukan jawabannya, saya masih akan tetap diam, karena saya yakin sekali bahwa yang saya lakukan ini adalah hal yang benar, tetapi saya belum menemukan jawabannya, jadi kalau saya tetap bicara tanpa jawaban yang benar, justru akan menimbulkan konflik bukan? Atau bahkan malah jadi debat kusir yang tidak penting sama sekali.

Sampai kemudian saya berpindah sudut pandang. Saya melihat bagaimana ummahatul mu’minin bisa mencari penghasilan sendiri juga, tapi tetap menjadikan suami sebagai nahkoda dalam rumah tangga. Itu karena, mereka memiliki penghasilan bukan untuk membantu suami memenuhi kebutuhan rumah tangga, mereka memiliki penghasilan untuk menunjang dakwah suaminya. Menjadikan orang sekelas rasulullah bisa berfokus pada urusan yang jauh lebih besar, menjadikannya sosok yang tidak lemah pada dunia. Aktivitas dakwah ataupun aktivitas kebaikan lain bisa dipastikan akan berhasil jika dilakukan dengan ikhlas. Tidak bisa kita mengharapkan materi dari sesuatu yang kita sebut “ikhlas”. Tetapi tidak menutup kemungkinan rejeki Allah itu berasal dari berbagai tempat yang tidak terduga. Hanya saja, aktivitas dakwah tergolong pada aktivitas non-profit, jadi bukan tempat untuk mengumpulkan harta, tetapi, tempat untuk berbagi kebaikan pada sebanyak-banyak manusia. Semakin luas ladang dakwah, semakin banyak manfaat kita, dan semakin besar dibutuhkan keikhlasan untuk melakukannya. Di titik inilah saya menemukan jawaban saya, bahwa wanita bekerja, adalah bagian dari niatnya mendukung kerja suami. Wanita bekerja adalah bagian di balik layar yang membesarkan panggung suami. Wanita bekerja adalah the “king maker”. Bekerjanya kita adalah bagian dari kemandirian kita sebagai seorang manusia, bekerjanya kita adalah bukti tekad baja kita sebagai wanita, yang tidak ingin menjadi orang cengeng yang selalu saja menuntut para suami untuk hanya memikirkan urusannya saja, atau bahkan sampai harus memaksa suami mencari lebih dari sekedar yang halal. Wanita bekerja adalah partner bukan pesaing dalam mencari nafkah, karena wanita bekerja, setinggi apapun penghasilannya, tetap menempatkan penghasilan suami sebagai penghasilan pokoknya, dan mensyukurinya, sebagai rejeki nomor satu dari Yang Maha Kuasa untuk keluarganya.

Semoga tulisan saya bisa mendorong para wanita untuk bisa mandiri, untuk bisa membantu suaminya menjadi lebih dari sekedar pasangan hidupnya. Kita tidak hanya perempuan yang dinantikan perannya dalam melahirkan generasi terbaik, tetapi kita juga perempuan yang dinantikan perannya dalam membesarkan institusi keluarga kita menjadi rumah bagi orang banyak.
1176202_640179486002123_343221428_n